
Jakarta, Goodcar.id - Industri otomotif China tengah disorot tajam menyusul terbongkarnya praktik curang yang melibatkan ribuan unit kendaraan.
Mobil-mobil yang sejatinya belum pernah digunakan, kini dijual sebagai mobil bekas lewat strategi manipulatif yang dikenal sebagai “zero-kilometre used car”.
Dalam skema ini, mobil baru yang tak kunjung terjual diregistrasi sebagai kendaraan bekas oleh diler atau pihak ketiga yang terafiliasi.
Secara administratif, unit tersebut tercatat telah “terjual”, meski odometernya nyaris nol. Selanjutnya, mobil kembali dipasarkan ke publik sebagai mobil bekas dengan diskon besar. Tujuannya yaitu mengerek angka penjualan pabrikan agar terlihat laris-manis di atas kertas.
Skema ini bukan kesalahan prosedural, melainkan strategi sistematis yang dijalankan untuk mendongkrak pencapaian target distribusi. Beberapa analis menyebut praktik ini sebagai bentuk channel stuffing, memasukkan produk ke rantai distribusi agar penjualan terlihat tinggi.
Dampaknya tidak main-main. Konsumen sering kali tidak sadar bahwa unit yang mereka beli sebenarnya sudah didaftarkan lebih dulu atas nama entitas lain. Hal ini membuat masa garansi kendaraan terpotong, atau bahkan sudah berjalan sejak registrasi pertama, bukan saat pembeli membawa pulang mobil.
Mengutip laman Carnewschina, disebutkan bahkan beberapa mobil nol kilometer dilaporkan masih memiliki tanggungan cicilan atau status kepemilikan yang tidak transparan. Risiko hukum dan finansial bisa menjerat pembeli yang tak hati-hati.
Penyebab utama munculnya praktik ini adalah overkapasitas produksi. Data terbaru mencatat ada lebih dari 3,5 juta unit stok mobil penumpang di seluruh China per April 2025.
Sebagian pabrikan besar bahkan hanya mengoperasikan lini produksinya di bawah 50% kapasitas optimal.
Dalam kondisi seperti ini, banyak produsen terjebak pada strategi jangka pendek. Harga ditekan habis-habisan, diskon digelontorkan besar-besaran, dan akhirnya—angka penjualan dimanipulasi agar terlihat sehat di mata investor dan pasar.
Model seperti BYD Qin L menjadi salah satu korban. Harga mobil ini di pasar mobil bekas anjlok hingga 40% di bawah harga resmi, menimbulkan efek domino terhadap brand lain dan memperparah kekacauan harga di pasar.
Pemerintah China Turun Tangan
Tingginya eskalasi kasus memaksa Kementerian Perdagangan China turun tangan. Pada 27 Mei lalu, otoritas mengumpulkan sejumlah pemain besar seperti BYD, Dongfeng, dan platform mobil bekas Guazi untuk membahas solusi jangka panjang.
Regulasi ketat dan transparansi transaksi menjadi dua isu utama. Pemerintah disebut tengah menyusun mekanisme pengawasan serupa dengan praktik SEC (Securities and Exchange Commission) di Amerika Serikat dalam mengawasi laporan keuangan dan distribusi.
Sejumlah tokoh industri, seperti Chairman Great Wall Motor, Wei Jianjun, mengkritik keras praktik ini. Ia menyebutnya sebagai "jalan pintas yang merusak", karena tidak hanya menipu publik tapi juga menghancurkan nilai merek secara perlahan.
“Kalau hanya mengejar angka, lalu kehilangan kepercayaan publik, pada akhirnya industri ini akan tumbang dari dalam,” kata Wei.
Mobil Tidak Laku China Dibuang ke Indonesia?
Yang menjadi pertanyaan besar sekarang ke mana lagi perginya mobil-mobil China yang tak laku itu? Dengan stok jutaan unit dan tekanan ekspor yang makin besar, pasar luar negeri tentu jadi pelampiasan logis.
Indonesia dengan pertumbuhan pasar otomotif yang menggeliat dan tren konsumen yang kian tergiur mobil murah fitur lengkap—bisa jadi sasaran empuk.
Apalagi, sejumlah merek asal China kini masif ekspansi di Indonesia, menawarkan harga kompetitif, cicilan ringan, dan unit-unit "siap kirim". Bisa saja, sebagian dari mobil-mobil itu adalah produk yang sebenarnya tak laku di negeri asalnya.
Misal sebagai informasi, mengutip laporan Carnewschina yang dirilis 19 Mei 2025 dan dimuat oleh VIVA.co.id, data penjualan retail mobil penumpang di China pada April 2025 mencapai 1,755 juta unit. Dari angka tersebut, model berbasis BEV (Battery Electric Vehicle) dan hybrid memang mencatat pertumbuhan tinggi, namun tidak satupun dari jajaran mobil listrik BYD yang dijual di Indonesia termasuk Sealion 7 masuk ke dalam 10 besar penjualan.
Sebaliknya, model-model yang mendominasi segmen sedan dan hatchback adalah Geely Geome Xingyuan (36.119 unit), BYD Seagull (34.005 unit), dan BYD Qin Plus (25.557 unit). Untuk kategori SUV, posisi teratas ditempati Geely Xingyue L (23.658 unit), diikuti oleh BYD Song Plus (20.668 unit) dan Song Pro (14.263 unit). Dolphin, Atto 3, dan Sealion 7 tak muncul di daftar 10 besar, menandakan penjualannya di pasar China masih belum signifikan.
Fenomena ini terjadi saat BYD dan sejumlah merek asal China tengah agresif memperluas pasar ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Mereka hadir dengan tawaran harga kompetitif, program cicilan ringan, dan unit “siap kirim”. Namun, kecepatan ekspansi ini justru menimbulkan kekhawatiran, apakah sebagian besar produk itu merupakan unit yang tidak terserap di pasar lokal lalu dialihkan ke pasar luar negeri?
Regulasi dan pengawasan ketat dari pemerintah menjadi kunci. Apalagi tren kendaraan listrik semakin diminati, dan Indonesia tak boleh menjadi tempat buangan mobil yang tidak laku hanya karena daya beli masyarakat dianggap masih bisa dikompromi.